Santri juga bisa

                Matahari  mulai menghilangkan sinarnya yang terik, pinggiran jalan pun semakin bertambah ramai di tengah kota. Sedayu , ya salah satu desa di kota jogja dan merupakan wilayah yang berdekatan dengan Desa Pedes. Sawah hijau di kejauhan mulai tak terlihat, keadaan petang di daerah ini mulai kelihatan benar benar kelam, malam yang dingin, malam yang begitu gelap. Daerah pedesaan seperti itu lah yang dirasakan warga warga sekitar didaerah sini, tak heran jika mereka telah biasa tinggal di pedesaan yang banyak juga tidak disukai untuk dijadikan tempat tinggal.
                Ku hentikan motor ku di sebuah rumah, rumah yang masih terlihat khasnya rasa kampoeng dari tahun tahun sebelumnya.  Gadis berkerudung putih itu keluar setelah kuketok da kuucapkan salam padanya, ku letakkan helm Titipan Ilahi ku kedalam rumah. Gadis itu masuk kedalam, tanpa basa basi pun aku langsung duduk dan melihat pemandangan disekitar rumah.
                “ mana mbah, ri…?” tanyaku ketika dia datang membawakan teh
                “ tuh lagi dibelakang tag, lagi nguobrol” balasnya
                “ oh… ada berapa orang disini?”                       
                “ berapa ya? Cuma mbahnya 2, febri, aku sama ardy?”

Benar dugaanku, kehidupan didaerah ini memang sangat sepi, ditengah tengah masa tua, ketika anak anak mereka telah besar dan mampu bekerja, mereka pun rela membiarkan pergi meninggalkan putra putri mereka keluar sana, ntah bekerja dan studinya, berharap dengan satu tujuan, kelak anak anak harus lebih sukses dan bahagia dari pada aku. Deri, gadis berkelahiran darah sumatera ini masih keliatan logatnya yang khas. Sesekali dia malu kalau kalau omongannya agak lain didengar, bukan dia tidak mampu bicara dengan baik, tapi logatnya yang ke-batak-an lah yang membuanya menarik diajak bershare.
Sesekali anak itu melihat kearah luar, dia bercerita. Kehidupanya menjadi anak yang ke-4 dari 4 saudaranya, menjadikan gadis ini berkelakuan sedikit manja, tidak di ragukan lagi, anak yang paling kecil memang sering di sangkutpautkan dengan kemanjaan, sama halnya dengan gadis ini. Hidup di daerah tanah karo, suatu kota di daerah sumatera utara, yang berdekatan dengan wisata alamnya yang terkenal di kancah Indonesia, Danau Toba. Daerah dataran tinggi itulah menjadi tempat tinggalnya, cerita dan kisah pun telah di kenangnya sebelum dia benar benar meninggal kan kota sejuk nan isis itu ke daerah rantauannya sekarang, Yogyakarta.
                “  tag, asal kau tahu aja, kemarin itu aku sebenarnya nggak dikasih sama mamak aku ke pesantren”
                “ lho, kok bisa gitu?”
                “ iya… nggak percaya kau kan? Itulah aku pun ntah kenapa kemarin kok bisa di pesantren, heran aku” bilangnya dengan logat khasnya
                “ emang mamak mu mau kau sekolah dimana?”
                “ kayak gini tag, dulu itu aku kan mts tsanawiyah di kabanjahe. Kabanjahe ini jauh pulak sama rumah aku, habis tuh ku bilang lah sama mamak aku “ mak, aku mau sekolah ke kebanjahe tapi jauh kali, aku ngekos aja lah mak kesana”. Habis dipikir pikirnya mamak aku, mau dia, akhirnya sekolah lah aku disitu.”
                “emh.. trus tadi kamu bilang orangtuamu gak mau kamu di pesantren?” tanyaku soal ini
                “ kan tadi kubilang aku kan ngekost di Kabanjahe kan tag, kostan aku dulu yang nyarikan tuh bapak aku, yasudahlah, aku ikut aja sama bapak aku. Terus aku nggak tahu ceritanya bapak aku ini ada kenalanya di Kabanjahe, kenalanya itu ustadz amir, dialah yang punya kostan itu, sebelum itu kan tag, aku nggak tahu kalau dia itu ustadz di raudhah.” ceritanya
                “ hah… ustadz amir? Kok bisa?”
                “ itulah tag, awak pun tak tahu, disitu lah awal pertamanya”
                Hari demi hari dilaluinya dengan kostan mungilnya di Kabanjahe. Hidup mandiri telah dilakoninya sebelum masuk Ar-Raudhatul Hasanah. Di masa tsanawiyahnya ini dia dan kostanya telah banyak mengukir cerita, pengalamannya, dan hingga suatu hari, sebuah kalender nan apik dilihatnya di dinding kostan, kalender yang belum pernah dilihat deri sebelumnya, kalender yang menampilkan banyak fhoto fhoto kegiatan. Ya, kalender Pondok Pesantren Ar-Raudhatul Hasanah, nama lengkap itulah yang menjadi perhatianya ketika melihat benda untuk mengetahui tanggal itu
                Perasaan dia mulai bertanya, dia jadi penasaraan tentang pesantren . MTSnya pun segera berkahir, pertanyaan pertanyaan yang lazim seperti  “ habis ini mau sekolah kemana kau nak?”  mulai sering didengarnya. Bingung belum bisa menjawab, dia tak sengaja lagi lihat kalender itu lagi, seringkali deri perhatikan kalender itu, bahkan sesekali melihat fhoto fhoto di dalamnya, terkadang dia mulai bertanya pada hatinya, dia mulai ada celah untuk pergi kesana, walaupun dia tahu resiko jika deri sekolah disana, waktu 3 tahun yang seharusnya di habiskan untuk melanjutkan masa studi aliyahnya bertambah menjadi 4 tahun.



                “ pokoknya mamak gak setuju kau masuk pesantren itu?” bilang ibu ke deri
                “ kenapa mak? Aku pingin masuk situ, aku pingin ke Medan”
                “ nggak mau mamak pokoknya.”
                “ emang kenapalah mamak nggak mau aku masuk pesantren?”
                “ yah, kau kan udah tahu sendiri, nanti disana sayang umurmu, anturan 3 tahun jadi 4 tahun, pokoknya nggak mau mamak”.

                Orangtua memang sangat berandil besar dalam hal ini, selayaknya mereka memberikan yang terbaik buat anaknya, sepertinya halnya sekolah. Kebanyakan orangtua dahulunya mungkin tak sepenuhnya ada yang menempuh studinya hingga akhir, tapi orangtua pastinya menginnginkan anaknya jauh lebih baik darinya, dengan harapan dia bisa meneruskan orangtuanya dan tak mengecewakan mereka. Gadis itu belum puas dengan jawaban bundanya, dia ingin sekali rasanya pergi menyantri, apalagi di daerah rantauan Kota Medan. Pondok, dimana tempat yang sangat tepat untuk mendalami ilmu ilmu agama dan spiritual, tempat bahasa syurga yang sangat menarik, dan tempat para pejuang pejuang islam itu di-godok.


                Aku ambil es teh yang ada di meja, ku seruput sedikit demi sedikit. Rasa tenang ku mulai kembali lagi, setelah mendengar cerita yang panjang dari deri. Gadis itu masih duduk di depanku, di ruang tamu yang nyaman ini. Penasaran dengan kelanjutanya , aku pun mulai berniat menuliskanya sebagai cerita. Luar biasa, padahal sebenarnya santri santri kebanyakan masuk ke pesantren di paksa orangtuanya  karena kelakuannya kurang baik atau nakal, berharap ketika tamat anaknya dapat berubah. Lain halnya dengan deri, orangtuanya malah yang tidak mau anaknya masuk ke pesantren, tapi semangat deri juga tak mau kalah, dia ingin memaksa orangtua nya yang tidak ingin memasukkannya ke pesantren agar di sekolahkanya di pesantren, anak gadis yang memaksa orangtuanya di sebabkan satu alasan, “sayang nanti umurmu habis”
                “ trus kayak mana kau bisa ke raudhah jadinya?”
                “ itu lah tag, Ntah malaikat apa yang membuat aku ke Raudhah?, aku pun tak tahu”
                “ hoh,,, Luar biasa kamu deri” seketika aku kagum dengan jawabanya itu
                Kalimat yang menjadi jawabanya itu pun membuatku benar benar, kalau gadis ini lain dari temanya, bahkan dari aku sendiri. Dulu aku masuk Raudhah memang keinginan ku, setelah sering mengikuti kegiatan pesantren kilat, aku jadi pingin mengikuti kehidupan santri yang sesungguhnya. Walaupun awalnya teman bundaku lah yang memperkenalkan Raudah pada ku, aku hanya bisa mengucapkan Terima kasih pada beliau , Ustadzah Sri ( istri Ustadz Fathurrahman S.Ag.)

                “ jadi der, apalah dibilang mamak mu waktu kau alumni pesantren?”
                “hahaha” senyumnya

                “ iyah? Malah senyum”
                “ yaudah gitu lah tag, mamak ku biasa aja, emang dah awalnya mamak ku kan nggak mau aku di pesantren, ya sudahlah gitu”
                “ya, tapi kan setidaknya dia bangga sebenarnya ma kau deri”
                “iya tag, hehehe”
               
 Ku minum lagi teh yang di meja, tiba tiba deri masuk kedalam ke ruangan, ntah apa yang dia lakukan, ku pun tak menghiraukan. Tak lama kemudian dia mengambil kan sebuah kaleng plastic yang disuguhkannya untukku, Emping buatan si mbah
“ oh ya der, kau pernah nggak nanyak mamak kau, apa sih yang mamak mau dari kau der?”
“emh… apa ya? Sebenarnya ada tag, jadi mamak ku tuh mau aku kalau nggak aku jadi Dosen ya Dokter” jawabnya agak kecewa
“ lho kok gitu mukak mu?”
“ gimana lah tag? Aku orangnya nggak suka sama IPA, eh… malah kemarin itu bilang mamak ku pingin aku jadi dokter” jelasnya padaku
“ hahaha, nggak papa lah, kan masih ada DOSEN, pokoknya kudoain lah kau sukses kuliah mu di UIN Sunan Kalijaga ini , jurusan pendidikan Bahasa Arab, biar kau jadi dosenya, tapi…”
“Amiiinnn…tapi apa tag?” Tanya nya penasaran
“tapi ntar ajarin aku ya kalau dah mahir, hehehe”
“ oh, okelah makasih ya”


Djogjakarta , Ahad 08072012
07.24 A.M.

“Ntah malaikat apa yang membuat aku ke Raudhah?” (Deri Kagome)